Toraja, Suku dengan Tradisi Mendandani Orang Meninggal
Toraja, Suku dengan Tradisi Mendandani Orang Meninggal
MARIO4D – Suku Toraja adalah suku yang berasal dari Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Suku ini metepa di pengunungan bagian utara Sulawesi Selatan. Dilansir dari Kebudayaan Masyarakat Toraja karya Fajar Nuugroho, suku ini memiliki hubungan yang imbang dengan alam. Suku Toraja memperlakukan alam dengan baik. “Melestarikan dan menjaga alam merupakan bentuk penghormatan terhadap arwah leluhur,” tulis Nugroho.
Sejarah suku Toraja
Menurut Nugroho, nama Toraja merupakan julukan yang digunakan oleh Suku Bugis Sindendereng dan Luwu untuk menyebut penduduk di sekitar pegunungan. Suku Bugis Sindendereng menyebut kelompok masyarakat ini dengan nama To Riaja, artinya orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Orang Luwu menyebutnya To Riajang, berarti orang yang berdiam di sebelah barat.
Sementara itu, dari hasil penelitian antropologi, masyarakat Toraja merupakan hasil akulturasi antara penduduk pribumi dengan pendatang dari Teluk Tonkin di China. Suku Toraja kini diketahui menghuni hampir seluruh wilayah Kabupaten Tana Toraja.
Agama dan kepercayaan suku Toraja
Agama dan kepercayaan suku Toraja Sebagian besar anggota suku Toraja diketahui kini menganut agama Kristen. Ada pula beberapa yang menganut Islam dan Hindu. “Masyarakat Toraja umumnya menganut agama Kristen. Hanya sebagian kecil masyarakatnya yang memeluk agama Islam dan Hindu,” tulis Nugroho. Masyarakat Toraja hidup di desa-desa kecil otonom yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan ini mereka anut sebelum abad ke-20, saat pengaruh luar belum masuk. Anggota suku percaya terhadap keberadaan arwah leluhur dan benda-benda yang dikeramatkan. Kepercayaan tersebut dinamakan Aluk Todolo. Agama Kristen mulai masuk ke suku ini pada tahun 1900-an. Ajaran agama tersebut dibawa oleh misionaris dari Belanda. Meski kini mayoritas masyarakatnya sudah memeluk agama Kristen, tak sedikit pula yang masih menjalankan ajaran Aluk Todolo.
Dilansir dari Ritual Kematian dalam Agama Asli Toraja Aluk Todolo, karya Roni Ismail, kepercayaan Aluk Todolo sudah ditetapkan sebagai cabang dari agama Hindu Dharma sejak tahun 1969. Aluk Todolo juga mendapat nama resmi yaitu Alukta yang berarti agama kita. Berdasarkan statistik yang dikeluarkan BPS pada 2010 silam, pemeluk Alukta di Tana Toraja tersebar di wilayah Tana Toraja, Toraja Utara, dan Mamasa. “Di antara praktik agama Aluk Todolo yang masih bertahan sampai sekarang adalah upacara kematian yang disebut Rambu Solok,” imbuh Ismail. Upacara Rambu Solok bertujuan memberikan penghormatan pada arwah orang yang meninggal. Upacara ini dipercaya sebagai penyempurna kematian. Jasad yang belum melalui upacara Rambu Solok diperlakukan selayaknya manusia bernyawa. Mereka didandani dan tetap diberi makanan, bahkan terkadang juga diajak mengobrol. Upacara Rambu Solok dipercaya menjadi upacara yang memindahkan roh seseorang dari dunia ini ke dunia roh.
Mata pencaharian
Mata pencaharian suku Toraja Menurut Nugroho, sebagian besar anggota suku Toraja bertahan hidup dengan bertani dan berkebun. Tana Toraja sendiri memiliki kondisi geografis berupa pegunungan, lembah, dan perbukitan. Kondisi tersebut memungkinkan penduduk untuk menanam sayur-sayuran, cengkeh, cokelat, vanili, lada, dan kopi. “Sebelum Orde Baru, perekonomian masyarakat Toraja bergantung pada pertanian dengan produk utama singkong dan jagung,” imbuh Nugroho dalam bukunya.
Selain berkebun dan bertani, penduduk juga memelihara hewan ternak. Mereka beternak kerbau, babi, dan ayam. Sebagian besar hasil ternak tersebut digunakan dalam upacara-upacara adat sebagai persembahan.
Wilayah Tana Toraja mengembangkan sektor pariwisata sejak tahun 1984. Masyarakat sekitar kemudian mendapat penghasilan dari bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata atau menjual cendera mata. Sebagian pendduduknya juga bekerja di sektor pemerintahan, guru, dan sektor industri yang tersebar di seluruh Indonesia.
Rumah tradisional suku Toraja
Rumah tradisional suku Toraja disebut Tongkonan. Rumah adat ini berbentuk rumah panggung dengan atap yang unik. “Tongkonan menjadi pusat kehidupan sosial dan ritual suku Toraja. Oleh karena itu, semua anggota keluarga diharuskan ikut serta dalam Tongkonan melambangkan hubungan dengan leluhur mereka,” tulis Nugroho. Dilansir dari jurnal berjudul Kebudayaan Toraja Modal Bangsa, Milik Dunia karya Stanislaus Sandarupa, pola pemukiman di Toraja sudah ada sejak abad ke-8. Pola pemukiman Tongkonan-Alang merupakan pola pemukiman yang berdiri pada abad tersebut. Pola pemukiman tersebut dibangun berdasarkan sistem pengetahuan dan kepercayaan. Alang merupakan lumbung yang digunakan oleh suku Toraja untuk menyimpan hasil panen. Lumbung ini selalu di bangun menghadap selatan yang dipercaya sebagai arah nenek moyang berada. Tongkonan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Bangunan rumah berdiri di atas tumpukan kayu.